Senin, 31 Juli 2017

Kapal Nelayan Diatas Rumah

SITUASI KAPAL NELAYAN PASCA BENCANA TSUNAMI ACEH

Hampir setiap sisi dari Kota Banda Aceh memiliki kenangan tersendiri tentang tragedi Tsunami yang terjadi di penghujung tahun 2004 yang lalu. Gelombang raksasa tersebut merubah kehidupan masyarakat yang selamat dalam peristiwa yang memilukan dan menakutkan bagi semua orang.



Banyak diantara mereka yang harta bendanya nyaris tak bersisa dan tersapu air bah yang datang tiba-tiba itu. Kehilangan sanak saudara dalam peristiwa itu juga membekas dalam ingatan masyarakat Aceh sebagai sebuah kenangan pahit yang sulit untuk dilupakan.

Diantara berbagai kenangan pahit yang dirasakan oleh warga Aceh ialah ada sebuah kisah keajaiban seputar Tsunami 26 DESEMBER 2004. Salah satu diantaranya ialah kapal nelayan yang terbawa gelombang Tsunami serta berlabuh diatas rumah warga.

Kapal nelayan ini telah menyelamatkan 59 orang warga Lampulo, dari hempasan gelombang yang menelan lebih dari 200.000 korban jiwa ini pada saat itu.

Sebelum kejadian bencana dahsyat itu, kapal kayu dengan panjang 25 meter dan lebar 5,5 meter ini baru selesai menjalani perbaikan di tempat docking kapal Lampulo. Adun, sang penjaga kapal sebelumnya mendapat instruksi untuk menurunkan kapal tersebut ke Sungai pada hari itu, 26 Desember 2004.

Teuku Zulfikar yang berdomisili di Medan mendapat kabar dari adiknya Hasri dan Saiful bahwa kapal itu rencananya akan dibawa ke Lhoknga untuk diisi pukat. Sebelum rencana itu berjalan, Tsunami telah terlebih dahulu menghanyutkan kapal berbobot 20 ton itu ke perumahan warga yang berjarak sekitar 1 km dari tepi sungai lampulo Saat itu, Kapal yang mendapat julukan 'Kapal Nuh' dari masyarakat Aceh ini ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Kebanyakan dari mereka ingin menyaksikan langsung bagaimana sebuah kapal yang menjadi saksi bisu dahsyatnya Tsunami Desember 2004 silam itu yang terletak diatas rumah.


USTADZ MUJIBURRIZAL

Ada seorang warga yang bernama Mujiburrizal bercerita. Sekitar 100 meter dari desa, kapal-kapal di sungai mulai naik ke daratan dan orang-orang berlarian dari arah pelabuhan sambil mengabarkan air laut naik kedarat. Saya berpikir jangan-jangan ini kiamat, namun seorang pria yang menggerakan warga menyelamatkan diri ke rumah tetangga berlantai dua milik ibu Abasiah. Puluhan warga yang berkumpul di jalan depan rumah langsung naik ke tingkat dua rumah Abasiah. Dalam waktu beberapa detik di tingkat dua itu airnya sudah setinggi leher, kata Mujiburrizal.

Selanjutnya Ia dan puluhan warga lainnya, termasuk kedua orang tuanya sendiri, mengira ajal sudah dekat. “Saya melihat di depan rumah itu sudah lautan dengan ombak yang ganas. Orang-orang, rumah dan kapal hanyut terbawa gelombang dahsyat itu."

Mujiburizzal kemudian naik ke atap rumah, dan tiba-tiba saya melihat dari sebelah kiri datang satu kapal yang sedang berputar-putar.

Kapal nelayan tua berhenti di lantai dua tersebut. Ia menyorong satu per satu warga ke atas kapal sedangkan seorang teman Mujiburizzal menarik mereka keatas kapal tersebut.

Sejumlah warga yang sudah terlebih dulu berada di atap rumah juga ikut masuk ke kapal. Seluruhnya berjumlah 59 orang, termasuk bayi, anak-anak, orang tua, bahkan mayat seorang anak.

“Pada awalnya kami berpikir kapal ini sengaja mau tolong kami, berhenti sebentar. Rupanya kapal menabrak atap dan menyangkut. Ketika itu gelombang datang lagi berkali-kali dan kapal hanya bergetar,” ujar Mujiburizzal.

Dalam kondisi lapar dan basah kuyup, warga mencari apa yang ada di atas kapal. Ada baju dan air galon di sana tapi ternyata airnya asin.

“Air bergulung-gulung warna hitam. Orang hanyut minta tolong dan sebagainya tapi kita tidak mampu menolong siapa pun."

Saya menghadap ke laut, dan saya adzan, Allahu Akbar Allahu Akbar, Allahu Akbar Allahu Akbar. Sehabis adzan, saya lihat gelombang itu pecah.

Di atas kapal, warga bertahan selama tujuh jam sampai air tsunami mulai surut dan mereka pun buru-buru meninggalkan desa mereka.

Kapal nelayan itu kini menjadi salah satu situs tsunami bersejarah di Aceh. Ratusan orang datang setiap hari untuk menyaksikan kapal yang sering disebut sebagian orang sebagai "Kapal Nabi Nuh".

Keluarga ibu Abasiah sebagai pemilik rumah dan tanah telah berpindah ke lokasi lain setelah pemerintah daerah membeli rumah itu.

Mujiburizzal kini menjadi Duta Museum Aceh di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Bersama keluarganya, ia tetap menempati rumahnya di samping situs tsunami Aceh.


PERHATIAN : SETELAH MENGKLIK SEBUAH LINK, ANDA AKAN MENUJU KE HALAMAN BERIKUTNYA DAN TUNGGU 5 DETIK. SELANJUTNYA KLIK TULISAN LEWATI AGAR ANDA DAPAT MEMBUKA HALAMAN YANG ANDA TUJU.







TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA